MAKALAH
USHUL FIKIH
Alquran Sebagai Sumber Dalil Hukum Syara'
Dosen Pembimbing:
Imam Mustakim.M.Pd.I
Prodi : Ekonomi Syari’ah
Disusun Oleh:
NAMA
Redy Prastyo
Rita Imroatus Sholihah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TULANG BAWANG
TAHUN AKADEMIK 2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi allah SWT yang telah memberikan nikmat Iman dan Islam kepada kita semua, sehingga kita dapat berkumpul dalam pertemuan yang Insya Allah dimuliakan oleh Nya. Shalawat dan Salam semoga tetap terlimpah curah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Kepada para sahabatnya para Tabi’it Tabi’innya dan semoga kepada kita selaku ummatnya mendapatkan syafa’atul udzma di Yaumil Jaza. Amin
Sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Imam Mustakim,M.Pd.I selaku dosen yang telah memberikan kami kesempatan menjelaskan Al-Qur’an sebagai sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Suatu kebanggaan bagi kami yang telah diberi kepercayaan oleh bapak pengampu untuk menjelaskan hal tersebut.
Maka dari itu, kami sebagai pihak yang diberkan tugas, mencoba memaparkan beberapa ilmu yang kami ambil dari beberapa sumber, dalam bentuk makalah yang akan kami presentasikan ini. Dalam makalah ini terdapat beberapa pelajaran penting yang wajib diketahui oleh kami khususnya dan mahasiswa pada umumnya. Diantara materi yang akan kami bahas diantaranya : Pengertian Al – Qur’an, Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam yang Utama, Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum, Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an Sekian dari kami, mohon maaf bila terdapat kesalahan baik dalam segi penulisan maupun dalam redaksi. Kritik dan saran sangat kami harapkan.
Tulang Bawang, 6 September 2017
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR...................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................
C. Tujuan Penulisan................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an.....................................................................................
B. Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Yang Utama.............
C. Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an..............................................................................
D. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum, Alqur’an Sebagai Sumber Hukum....
E. Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an..............................................................
F. Dalil dan macam-macam dalil........................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................................
B. Saran-Saran............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakanwadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapitidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam Al-Qur’an seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1. Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf mengenai malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin Aqoid).
2. Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasanoleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaandan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin Akhlak).
3. Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan setiap mukallaf, meliputimasalahucapan perbuatan akad (Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah, muamalah dan lain-lain.Untuk mengetahui lebih jauh penulis mencobamembahasnya dengan sebuah makalah yang berjudul “AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM UTAMA”.
Al-Qur’an merupakan nama kitab suci Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan malaikat Jibril. Dalam kajian ushul fiqih, Al-Qur’an juga disebut beberapa nama seperti : Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantaraan malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud Al-Qur’an ?
2. Apakah semua Ulama’ sepakat terhadap kehujjahan Al-Qur’an ?
3. yang di maksud dilalah Qoth’I danZhanni didalam al-qur’an ?
4. Bagaimanakah itu Al-Qur’an menjelaskan Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum ?
5. Sistematika Hukum Didalam Al-Qur’an ?
6. Apakah yang dimaksud dengan dalil dan apa sajakah macam-macam dalil?
C. TUJUAN PENULISAN
Tentunya kami sebagai penulis makalah ini mempunyai tujuan terkait dengan rumusan masalah, yang dengan tujuan tersebut kita dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tujuannya adalah:
1. penulis dan pembaca dapat mengetahui tentang Al-Qur’an.
2. Supaya penulis dan pembaca bisa mengetahui terhadap argumin tentang Al-Qur’an sebagai sumber yang Utama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi)Merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna membaca atau baca’an, seperti terdapat dalam surat Al-Qiamah (75) : 17-18 :ان عليناجمعه وقرانه فاداقراناه فتبع قراناه)القيمة: 17-18
Artinya:“sesungguhnya tangguangan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai ) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” (Al-Qiamah : 17-18).
Secara Istilah (Terminologi) Adapun difinisi alqur’an secara istilah menurut sebagian ulama ushul fiqih adalah:كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلمباللفظ العربي المنقول الينا بالتواترالمكتوب بالمصاحف المتعبدبتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
Artinya:“Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammadshallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Dari definisi tersebut, para ulama menafsirkanAl Qur’an dengan beberapa variasi pendapat yang dapat kami simpulkan menurut beberapa ulama Ushul Fiqh.[1]
1. Al-Qur’an merupakan kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. dengan demikian, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan dengan Al-Qur’an. Seperti diantaranya wahyu yang allah turunkan kepadaNabi Ibrahim (zabur) Ismail (taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas memang kalamullah, tetapi dikarebakan diturunkan bukan kepada nabi Muhammad saw, maka tidak dapat disebut alqur’an.
2. Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan ibrahim : 4 maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Alqur’an tidak dinamakan Alquran serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak Sah Shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan alquran, sekalipun ulma’ hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3. Al-Quran dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4. Membaca setiap kata dalam alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.
5. Al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. tidak boleh diubah dan digamti letaknya. Dengan demikiandoa doa, yang biasanya ditambahkan di akhirnya dengan Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.Di dalam buku Ushul Fiqih, Prof. DR. Amir Syarifudin, Penerbit Zikrul Hakim. Hal: 18.Bahwa Al-Qur’an itu:Kalamullah yang diturunkannya perantara’an Malaikat Jibril kedalam hati Rosulullah Muhammad Ibnu Abdulah dengan bahasa Arab dan makna-maknanya benar supaya menjadi bukti bagi Rosul tentangkebenaranya sebagai Rosul, menjadi aturan bagi manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk, dipandang beribadah membacanya, dan ia di bukukan di antara dua kulit mushaf, di awali dengan surah al-fatihah dan di akhiri dengan surat an-nas, di sampaikan kepada kita secara mutawatir baik secara tertulis maupun hafalandari generasi kegenerasi dan terpelihara dari segala perubahan dan pergantian sejalan dengan kebenaran jaminan allah saw. Dalam surat al-hijr, ayat 9: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an , dan sesungguhnya kami benar benar memeliharanya.
Dari difinisi di atas ada beberapa hal yang dapat di pahami di antaranya:
1. Lafal dan maknanya langsung berasal dari allah sehingga segala sesuatu yang di ilhamkan allah kepada nabi bukan di sebut al-qur’an, melainkan di namakan hadits.
2. Tafsiran surat atau ayat Al-Qur’an yang ber bahasa Arab, meskipun mirip dengan Al-Qur’an itu, tidak dinamakan Al-Qur’an. Dan juga terjemahan surat dan ayat al-qur’an dengan bahasa lain (bahasa selain arab), tidakdi pandang sebagai bagian dari Al-Qur’an, meskipun terjemahan itu menggunakan bahasa yang baikdan mengandung makna yang dalam.
B. Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Yang Utama
Para Ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi Syari’at Islam, termasuk hukum islam. dan menganggapnya al-qur’an sebagai hukum islam karena di latar belakangi sejumlah alasan, dintaranya :
1. Kebenaran Al-Qur’an
Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa “ kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya:“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”(Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
Berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan Aturan-Aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.[2]
2. Kemukjizatan Al-Qur’an
Mukjizat memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu adalah di luar kesanggupannya. Mukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah SWT berikan kepada para Nabi dan Rasuluntuk menguatkan kenabian dan kerasulan mereka, dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainkan benar-benar datang dari Allah SWT. Seluruh nabi dan rasul memiliki mukjizat, termasuk di antara mereka adalah Rasulullah Muhammad SAW yang salah satu mukjizatnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusiasepanjang masa, karena Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan dan dimana pun mereka berada. Allah telah menjamin keselamatan Al-Qur’an sepanjang masa, hal tersebut sesuaidengan firman-Nya yangArtinya:“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Q. S. Al-Hijr, 15:9).
Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:
1. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang, dan apa-apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar adanya.
2. Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang ini.[3]
Al-Qur’an sebagai SumberHukum Menurut Imam Madzhab.[4] Diantaranya :
1.Pandangan Imam Abu HanifahImam
Abu Hanifah sependapat dengan jumhurulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakupmaknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaanMadharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
2. Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya berasaldari Allah SWT . Sebagai sumber hukum islam,dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu,”.Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Dan imam malik mengikuti jejak mereka dalamcara menggunakanra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali Imran, petunjukLafazhyang terdapat dalam Al-qur’anterbagi dalam dua macam yaitu:
a. Ayat Muhkamat
Muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat di pahami dengan mudah. Dan ayat Muhkamat disini terbagi dalam dua bagian yaitu;Lafazh dan Nash. Imam malik menyepakati pendapat ulama-ulama lain bahwa lafad nashitu (qoth’i) artinya adalah lafazh yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qoth’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain, Sedangkan Lafadz Dhohir(Zhanni) adalah lafazh yang menunjukkan makna jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut imam malik keduanya, dapat dijadikan hujjah , hanya sajaLafazh Nashdi dahulukan dari pada Lafazh Dhohir. Dan juga menurut imam malik bahwadilalah nash termasuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk Zhanni,sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang di dahulukan adalah dilalah nash. Dan perlu di ingat adalah makna zhahir disini adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik
b. Ayat-ayat Mutasyabbihat
Ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat di tentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
3. Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidakbisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali, Dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an, kami ulangi kembali bahwa pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.
4. Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam Ahmad Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang tidakakanberubah sepanjang masa. Alqur’an juga mengandung hukum-hukum yang bersifat GLOBAL (luas atau umum). Sehingga al-qur’an tidak bisa di pisahkan dengan sunnah atau hadits, karna Sunnah ini merupakan penjelas dari alqur’an, seperti halnya Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad yang memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah Nash tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunnah dahulu tapi yang dimaksud Nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan penafsiran yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). Dan sikapnya dapat di klasifikasikan menjadi tiga :
1. Sesungguhnya zhahir al-qur’an tidak mendahului as-sunnah.
2. Rosulullah saw. Yang berhak menafsirkan al-qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan dan menjelaskannya.
3. Jika tidak di temuan penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para sahabatlah yang di pakai. Karna merekalah yang menyaksikan turunya al-qur’an.dan mereka pula yang lebih mengetahuias-sunnah, yang mereka gunakan sebagai penafsiran al-qur’an.
Menurut Ibnu Taimiah, Al-Qur’an itu tidak di tafsirkan, kecuali denganAtsar,namun dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits Nabi, dan Qoul Sahabat, di ambial dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh : 242-247)
C. Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an
Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum Syara’. Merekapun spakat bahwa semua ayat al-Qur’an dari segi wurut(kedatangan) danTsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalanmutawattir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata padamushiaf-nya, yang tidak ada pada qiro’ahmutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran pada Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka dengn jalan membawa nas mutlak padamuqayyaddan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja para penbahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qiroat Khairu Mutawatiryang periwayatannya tersendiri. Diantara para Sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud di mencantumkan kata Mutata Biatinpada ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat tersebut padamushaf-nya tertulis :فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ا يا ممتتا بعا تDan menambah kata dzi ar-rohmi al—muharramipada ayat 233, surat Al-Baqarah sehingga ayat tertulis:وعلى الوارثدى الرحيمالمحرمUbai Ibnu Ka’ab mencantumkan kata Min Al-Ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga ayat tersebut tertulis pada mushaf-nya:وان كان رجل يورث كلالة اوامراة وله اخ اواختمن الام Namun, perlu di tegaskan bahwa hal tersebut tidak di dapati dalam Mushaf Utsmani yang kita pakai sekarang ini.
Adapun di tinjau dari segi Dilalah-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat di bagi dalam dua bagian;
a. Nash yang Qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya tidak bisa di takwil, tdk mempunyai makna yg lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri.Contoh yg dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba , pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayat yang menyangkut hal hal tersebut, maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu,dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf,1972;35)
b. Nash yang Zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yg menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil ayau nash yg mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) atapun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya , iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama, slain berbeda pendapat tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yg qath’i dan zhanni dilalah, juga berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg termsuk qath’i atau zhanni dilalah.
Imam Asy-syatibi menegaskan behwa wujud dalil syara’ yg dengan sendirinya dapat menunjukkan dilalah yg qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yg qath’i tubut pun untnk menghasilkan dilalah yg qath’i masih bergantung pd premis-premis yg seluruh atau sebagiannya zhanni . Dalil-dalil syara’ yg bergantung pada dalil yg zhanni menjadi zhanni pula.(Asy-Syatibi,1975,1;35).
D. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum
1. Ayat-ayat yang menjelaskanHukum diantaranya:Uraian al-Qur’an tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah, karena ulama Al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah.
Allah swt berfirman: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).Ayat ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman.
2. Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan Shalat:
firman Allah SWT Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’:103).Artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji danmungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45).[5]
E. Hukum Dalam Al-Qur’an Alqur’an Sebagai Sumber Hukum Yang Utama
maka Al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar Al-Qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).
Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan prilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.
Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh. yang dicakup oleh Nash al-Qur’an,garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1. Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan.
2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti
3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat, mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yangpertama, amaliyah yangkadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.[6]
F. Dalil Dan Macam-Macam Dalil
Dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah. Sehingga segala sesuatu perbuatan yang dikerjakan oleh mukallaf dapat dikanai hukum syara.Adapun pembagian dalil dapat dilakukan dalam berbagai aspek. Jika Ditinjau dari segi asalnya dalil dapat dikelompokkan menjadi dua :Dalil naqli dan Dalil aqli. Ditinjau dari ruang lingkupnya yaitu : Dalil kulli dan Dalil juz’I, dan jika Ditinjau dari segi daya kekuatannya digolongkan kedalam Dalil qoth’I dan Dalil dhonni.
a. Dalil Qath’i
Qath’I menurut bahasa mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak membuka penafsiran yang lain.[7] Nash-nash Al-Qur’an, seluruhnya bersifat qoth’i dari segi kehadiranya dan ketetapanya , dan periwayatanya dari Rosulullah.[8]Menurut Abdul Wahab Khallaf Qath’I adalah sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadist).
Qath’Idan Zhonni merupakan salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau sumber suatu dalil.Dalam dalil Qath’I ada ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an mengenai rukun-rukun agama seperti shalat dan puasa, bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan semuanya yang tidak mungkin dibantah oleh siapapun, setiap orang wajib mengikutinya dan ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad.
Nash-nash yang qoth’i adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti yang pemahamannya tertentu , tidak mungkin ditakwilkan dan tidak mungkin diphahamkan lain. seperti ayat dibawah ini :
Tentang warisan
Artinya :Dan bagimu (suami-suami) seper dua dari harta yang ditiggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak (an-Nisa')
ayat ini qoth’i dalalahnya karena dengan tegas hak suami yang ditinggalkan oleh mati istrinyayang tidak punya anak, artinya bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain.
Tentang hukuman had zina
Artinya : Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman. (an-Nur : 2)
Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut, maknanya jelas dan tegas dan menujukkan arti dan maksud tertentu dan dalammemahaminya tidak memerlukan ijtihad.
Tentang hukuman menuduh berzina
Artinya “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuatzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Bahwa seorang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina, sedangkan iatidak memiliki 4 orang saksi maka ia didera sebanayak 80 kali deraan sebagai hukuman telah menuduh. Kata“delapan puluh”merupakankata yang sudah jelas dan tidak mungkin kata tersebut dita’wil menjadi kalimat lain.
b. Dalil Dzanni
Secara bahasa yang dimaksud dengan Dzanni adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah). Adapun Dzanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis)yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.
Dalil dzanni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Sedangkan nash-nash yang dzanny dalalahhnya adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti akan tetapi ada kemungkinan bisa ditakwilkan[9].
Contoh-contoh Dalil DzanniAl Baqarah : 228Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri(menunggu) tiga kali quru”.(Al Baqarah : 228)
Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih). Di dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’.
Dalam hal ini sangatlah wajar apabila para ulama’ berbeda pendapat , lafazd ‘am, dan yang sewmacamnya mengandung pemahaman yang yang dzanny, karena meskipun menunjuk pada suatu arti , akan tetapi ada kemungkinan pemahaman yang lain,Al Maidah : 3Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”. (Al-Maidah : 3).
Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat tersebut ‘Am, yang mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am mutlak dan yang seperti itu maka disebut zhanni dalalahnya. hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.
Dengan demikian istilah qoth’i dan dzanni menyangkut soal nilai suatu dalil , hal-hal yang qoth’i tidak diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dzanni baik didalam fungsinya maupun didalam tempatnya.
c. Dalil Kully
Dalil kully adalah dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf[10]. Dalil kully ini ada kalanya ayat al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah. Contoh dari ketiganya ialah:
Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29:
“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.”
Ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk dipergunakan oleh manusia. Kataمَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا(segala sesuatu yang ada di bumi) bersifat umum mencakupsemua yang ada di darat dan di laut.Dari ayat ini diambil dasar kaidah:الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ“Pokok hukum segala sesuatu adalah membolehkan”.
Hadist Nabi yang berbunyi:عَنْ أَبِى سَعِيْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سَنَانٍ الخُدْرِى قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ“Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: “Tidak boleh memadlaratkan diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain” (H.R. Ibnu Majah dan Daru Quthniy).[11]
Hadits di atas melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan dibangun atas dasar kemaslahatan.Kaidah fikih yang berbunyi:“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”.
Di antara contoh dalil yang juz’iy adalah ayat:
“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.
Dalam pembahasan mengenai kedua dalilini harus dibedakan antara dalil yang kully dengan lafadz‘am,dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas. Istilah ‘am dan khas, dikenal di dalam kajian lafadz atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an, di mana yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut pandang kata perkata.[12]
d. Dalil Juz’i
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu hukum tertentu.Contohnya :
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqoroh :183)
Ayat diatas termasuk kedalam dalil juz’I, karena hanya menunjukkan kepada perintah puasa saja.[13]
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara:
a. Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih disebut sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
b. Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum , dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci beberapa kali sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci, dan berapa benda yang wajib dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus di zakatkan. Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum dan mutlak ini, Rasulullah Saw, melalui sunnahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan, dan membatasi.[14]
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah. Sehingga segala sesuatu perbuatan yang dikerjakan oleh mukallaf dapat dikanai hukum syara.Adapun pembagian dalil dapat dilakukan dalam berbagai aspek. Jika Ditinjau dari segi asalnya dalil dapat dikelompokkan menjadi dua :Dalil naqli dan Dalil aqli. Ditinjau dari ruang lingkupnya yaitu : Dalil kulli dan Dalil juz’I, dan jika Ditinjau dari segi daya kekuatannya digolongkan kedalam Dalil qoth’I dan Dalil dhonni.
Dalil Qath’I menurut bahasa mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak membuka penafsiran yang lain.
Dalil dzonni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Dalil kully adalah dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf. Dalil kully ini ada kalanya ayat al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu hukum tertentu
B.Saran –Saran
Untuk mendapatkan manfaat yang sempurna dari Makalah yang penulis buatini, hedaknya PembacaMemberikan Kritik dan saran serta melakukan Pengkajian Ulang (diskusi) terhadap penulisan sehingga penulis terhindar dari Kekeliruan.
DAFTAR PUSTAKA
Ushul Fiqih Prof. DR. Amir Syarifudin, Penerbit Zikrul Hakim
Prof. Dr. rachmat syafe’I M.A Ilmu ushul Fiqhuntuk UIN, STAIN dan PTAIS pustaka setia Bandung 2007
Mannaa’ Khaliil Al-Qattaan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, Elektronik Book, “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009Elektonik Book “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang.
Prof.Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh.Semarang:Dina Utama,1994
http://rahasiasuksesirfanansori.wordpress.com/2011/10/31/al-quran-sebagai-sumber-hukum-islam-pertama/
Djazuli, Prof. Drs. H.A., Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014).
Wahhab Khallaf, Abdul, Prof.,Ilmu Ushul Hadits,( Semarang:Dina UtamaSemarang , 1994 )
Www. Makalah Ushul Fiqih Dalil Qoth’i Dan Dzonni21/11/2015
Www.Dalilkullydanjuz’i.com,(30,09,2015)
[1]Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA. Hal: 50
[2]Dikutip dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang
[3]dikutip dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang
[4]Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA.Hal: 51
[5]Dikutip dari “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009
[6]Dikutip dari, “ilmu ushul fiqh”. Prof.Dr.Abdul Wahhab Khalaf
[7]www. Makalah ushul fiqih dalil qoth’i dan dzonni21/11/2015
[8]Prof. Abdul Wahhab Khallaf.,Ilmu ushul hadits,( Semarang:Dina UtamaSemarang , 1994 ), halaman36.
[9]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), halaman 85-86.[5]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014), halaman 86.
[10]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih, (Metodologi Hukum Islam),(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
[11]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
[12]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
[13]www.dalilkullydanjuz’i.com,(30,09,2015/14.35 WIB).
[14]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol aen M. A ,ushul fiqih(metodologi hukum islam),(jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014),halaman 86.
No comments:
Post a Comment