Friday, September 8, 2017

MAKALAH
USHUL FIKIH
Alquran Sebagai Sumber Dalil Hukum Syara'
Dosen Pembimbing:
Imam Mustakim.M.Pd.I
Prodi : Ekonomi Syari’ah

Disusun Oleh:
NAMA
Redy Prastyo
Rita Imroatus Sholihah




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TULANG BAWANG
TAHUN AKADEMIK 2017


KATA PENGANTAR
    Segala puji bagi allah SWT yang telah memberikan nikmat Iman dan Islam kepada kita semua, sehingga kita dapat berkumpul dalam pertemuan yang Insya Allah dimuliakan oleh Nya. Shalawat dan Salam semoga tetap terlimpah curah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Kepada para sahabatnya para Tabi’it Tabi’innya dan semoga kepada kita selaku ummatnya mendapatkan syafa’atul udzma di Yaumil Jaza. Amin
    Sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Imam Mustakim,M.Pd.I selaku dosen yang telah memberikan kami kesempatan menjelaskan Al-Qur’an sebagai sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Suatu kebanggaan bagi kami yang telah diberi kepercayaan oleh bapak pengampu untuk menjelaskan hal tersebut.
    Maka dari itu, kami sebagai pihak yang diberkan tugas, mencoba memaparkan beberapa ilmu yang kami ambil dari beberapa sumber, dalam bentuk makalah yang akan kami presentasikan ini. Dalam makalah ini terdapat beberapa pelajaran penting yang wajib diketahui oleh kami khususnya dan mahasiswa pada umumnya. Diantara materi yang akan kami bahas diantaranya : Pengertian Al – Qur’an, Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam yang Utama, Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum, Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an Sekian dari kami, mohon maaf bila terdapat kesalahan baik dalam segi penulisan maupun dalam redaksi. Kritik dan saran sangat kami harapkan.


Tulang Bawang, 6 September 2017


Penulis


DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR...................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................
C. Tujuan Penulisan................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an.....................................................................................
B. Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Yang Utama.............
C. Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an..............................................................................
D. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum, Alqur’an Sebagai Sumber Hukum....
E. Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an..............................................................
F. Dalil dan macam-macam dalil........................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................................
B. Saran-Saran............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakanwadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapitidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam Al-Qur’an seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1. Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf mengenai malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin Aqoid).
2. Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasanoleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaandan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin Akhlak).
3. Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan setiap mukallaf, meliputimasalahucapan perbuatan akad (Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah, muamalah dan lain-lain.Untuk mengetahui lebih jauh penulis mencobamembahasnya dengan sebuah makalah yang berjudul “AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM UTAMA”.
     Al-Qur’an merupakan nama kitab suci Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan malaikat Jibril. Dalam kajian ushul fiqih, Al-Qur’an juga disebut beberapa nama seperti : Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantaraan malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud Al-Qur’an ?
2. Apakah semua Ulama’ sepakat terhadap kehujjahan Al-Qur’an ?
3. yang di maksud dilalah Qoth’I danZhanni didalam al-qur’an ?
4. Bagaimanakah itu Al-Qur’an menjelaskan Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum ?
5. Sistematika Hukum Didalam Al-Qur’an ?
6. Apakah yang dimaksud dengan dalil dan apa sajakah macam-macam dalil?

C. TUJUAN PENULISAN
Tentunya kami sebagai penulis makalah ini mempunyai tujuan terkait dengan rumusan masalah, yang dengan tujuan tersebut kita dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tujuannya adalah:
1. penulis dan pembaca dapat mengetahui tentang Al-Qur’an.
2. Supaya penulis dan pembaca bisa mengetahui terhadap argumin tentang Al-Qur’an sebagai sumber yang Utama.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi)Merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna membaca atau baca’an, seperti terdapat dalam surat Al-Qiamah (75) : 17-18 :ان عليناجمعه وقرانه فاداقراناه فتبع قراناه)القيمة: 17-18
Artinya:“sesungguhnya tangguangan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai ) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” (Al-Qiamah : 17-18).
Secara Istilah (Terminologi) Adapun difinisi alqur’an secara istilah menurut sebagian ulama ushul fiqih adalah:كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلمباللفظ العربي المنقول الينا بالتواترالمكتوب بالمصاحف المتعبدبتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
Artinya:“Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammadshallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Dari definisi tersebut, para ulama menafsirkanAl Qur’an dengan beberapa variasi pendapat yang dapat kami simpulkan menurut beberapa ulama Ushul Fiqh.[1]
1. Al-Qur’an merupakan kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. dengan demikian, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan dengan Al-Qur’an. Seperti diantaranya wahyu yang allah turunkan kepadaNabi Ibrahim (zabur) Ismail (taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas memang kalamullah, tetapi dikarebakan diturunkan bukan kepada nabi Muhammad saw, maka tidak dapat disebut alqur’an.
2. Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan ibrahim : 4 maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Alqur’an tidak dinamakan Alquran serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak Sah Shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan alquran, sekalipun ulma’ hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3. Al-Quran dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4. Membaca setiap kata dalam alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.
5. Al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. tidak boleh diubah dan digamti letaknya. Dengan demikiandoa doa, yang biasanya ditambahkan di akhirnya dengan Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.Di dalam buku Ushul Fiqih, Prof. DR. Amir Syarifudin, Penerbit Zikrul Hakim. Hal: 18.Bahwa Al-Qur’an itu:Kalamullah yang diturunkannya perantara’an Malaikat Jibril kedalam hati Rosulullah Muhammad Ibnu Abdulah dengan bahasa Arab dan makna-maknanya benar supaya menjadi bukti bagi Rosul tentangkebenaranya sebagai Rosul, menjadi aturan bagi manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk, dipandang beribadah membacanya, dan ia di bukukan di antara dua kulit mushaf, di awali dengan surah al-fatihah dan di akhiri dengan surat an-nas, di sampaikan kepada kita secara mutawatir baik secara tertulis maupun hafalandari generasi kegenerasi dan terpelihara dari segala perubahan dan pergantian sejalan dengan kebenaran jaminan allah saw. Dalam surat al-hijr, ayat 9: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an , dan sesungguhnya kami benar benar memeliharanya.
Dari difinisi di atas ada beberapa hal yang dapat di pahami di antaranya:
1. Lafal dan maknanya langsung berasal dari allah sehingga segala sesuatu yang di ilhamkan allah kepada nabi bukan di sebut al-qur’an, melainkan di namakan hadits.
2. Tafsiran surat atau ayat Al-Qur’an yang ber bahasa Arab, meskipun mirip dengan Al-Qur’an itu, tidak dinamakan Al-Qur’an. Dan juga terjemahan surat dan ayat al-qur’an dengan bahasa lain (bahasa selain arab), tidakdi pandang sebagai bagian dari Al-Qur’an, meskipun terjemahan itu menggunakan bahasa yang baikdan mengandung makna yang dalam.
B. Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Yang Utama
Para Ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi Syari’at Islam, termasuk hukum islam. dan menganggapnya al-qur’an sebagai hukum islam karena di latar belakangi sejumlah alasan, dintaranya :
1. Kebenaran Al-Qur’an
Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa “ kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”.  Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya:“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”(Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
Berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan Aturan-Aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.[2]
2. Kemukjizatan Al-Qur’an
Mukjizat memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu adalah di luar kesanggupannya. Mukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah SWT berikan kepada para Nabi dan Rasuluntuk menguatkan kenabian dan kerasulan mereka, dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainkan benar-benar datang dari Allah SWT. Seluruh nabi dan rasul memiliki mukjizat, termasuk di antara mereka adalah Rasulullah Muhammad SAW yang salah satu mukjizatnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusiasepanjang masa, karena Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan dan dimana pun mereka berada. Allah telah menjamin keselamatan Al-Qur’an sepanjang masa, hal tersebut sesuaidengan firman-Nya yangArtinya:“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Q. S. Al-Hijr, 15:9).
Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:
1. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang, dan apa-apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar adanya.
2. Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang ini.[3]

Al-Qur’an sebagai SumberHukum Menurut Imam Madzhab.[4] Diantaranya :
1.Pandangan Imam Abu HanifahImam
Abu Hanifah sependapat dengan jumhurulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakupmaknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaanMadharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
2. Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya berasaldari Allah SWT . Sebagai sumber hukum islam,dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu,”.Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Dan imam malik mengikuti jejak mereka dalamcara menggunakanra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali Imran, petunjukLafazhyang terdapat dalam Al-qur’anterbagi dalam dua macam yaitu:
a. Ayat Muhkamat
Muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat di pahami dengan mudah. Dan ayat Muhkamat disini terbagi dalam dua bagian yaitu;Lafazh dan Nash. Imam malik menyepakati pendapat ulama-ulama lain bahwa lafad nashitu (qoth’i) artinya adalah lafazh yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qoth’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain, Sedangkan Lafadz Dhohir(Zhanni) adalah lafazh yang menunjukkan makna jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut imam malik keduanya, dapat dijadikan hujjah , hanya sajaLafazh Nashdi dahulukan dari pada Lafazh Dhohir. Dan juga menurut imam malik bahwadilalah nash termasuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk Zhanni,sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang di dahulukan adalah dilalah nash. Dan perlu di ingat adalah makna zhahir disini adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik
b. Ayat-ayat Mutasyabbihat
Ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat di tentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
3. Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidakbisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali, Dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an, kami ulangi kembali bahwa pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.


4. Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam Ahmad Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang tidakakanberubah sepanjang masa. Alqur’an juga mengandung hukum-hukum yang bersifat GLOBAL (luas atau umum). Sehingga al-qur’an tidak bisa di pisahkan dengan sunnah atau hadits, karna Sunnah ini merupakan penjelas dari alqur’an, seperti halnya Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad yang memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah Nash tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunnah dahulu tapi yang dimaksud Nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan penafsiran yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). Dan sikapnya dapat di klasifikasikan menjadi tiga :
1. Sesungguhnya zhahir al-qur’an tidak mendahului as-sunnah.
2. Rosulullah saw. Yang berhak menafsirkan al-qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan dan menjelaskannya.
3. Jika tidak di temuan penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para sahabatlah yang di pakai. Karna merekalah yang menyaksikan turunya al-qur’an.dan mereka pula yang lebih mengetahuias-sunnah, yang mereka gunakan sebagai penafsiran al-qur’an.
Menurut Ibnu Taimiah, Al-Qur’an itu tidak di tafsirkan, kecuali denganAtsar,namun dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits Nabi, dan Qoul Sahabat, di ambial dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh : 242-247)

C. Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an
Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum Syara’. Merekapun spakat bahwa semua ayat al-Qur’an dari segi wurut(kedatangan) danTsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalanmutawattir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata padamushiaf-nya, yang tidak ada pada qiro’ahmutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran pada Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka dengn jalan membawa nas mutlak padamuqayyaddan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja para penbahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qiroat Khairu Mutawatiryang periwayatannya tersendiri. Diantara para Sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud di mencantumkan kata Mutata Biatinpada ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat tersebut padamushaf-nya tertulis :فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ا يا ممتتا بعا تDan menambah kata dzi ar-rohmi al—muharramipada ayat 233, surat Al-Baqarah sehingga ayat tertulis:وعلى الوارثدى الرحيمالمحرمUbai Ibnu Ka’ab mencantumkan kata Min Al-Ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga ayat tersebut tertulis pada mushaf-nya:وان كان رجل يورث كلالة اوامراة وله اخ اواختمن الام Namun, perlu di tegaskan bahwa hal tersebut tidak di dapati dalam Mushaf Utsmani yang kita pakai sekarang ini.
Adapun di tinjau dari segi Dilalah­-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat di bagi dalam dua bagian;
a. Nash yang Qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya tidak bisa di takwil, tdk mempunyai makna yg lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri.Contoh yg dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba , pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayat yang menyangkut hal hal tersebut, maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu,dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf,1972;35)
b. Nash yang Zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yg menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil ayau nash yg mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) atapun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya , iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama, slain berbeda pendapat tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yg qath’i dan zhanni dilalah, juga berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg termsuk qath’i atau zhanni dilalah.
Imam Asy-syatibi menegaskan behwa wujud dalil syara’ yg dengan sendirinya dapat menunjukkan dilalah yg qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yg qath’i tubut pun untnk menghasilkan dilalah yg qath’i masih bergantung pd premis-premis yg seluruh atau sebagiannya zhanni . Dalil-dalil syara’ yg bergantung pada dalil yg zhanni menjadi zhanni pula.(Asy-Syatibi,1975,1;35).
D. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum
1. Ayat-ayat yang menjelaskanHukum diantaranya:Uraian al-Qur’an tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah, karena ulama Al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah.
Allah swt berfirman: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).Ayat ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman.
2. Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan Shalat:
firman Allah SWT Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’:103).Artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji danmungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45).[5]
E. Hukum Dalam Al-Qur’an Alqur’an Sebagai Sumber Hukum Yang Utama
maka Al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar Al-Qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).
Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan prilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.
Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.  yang dicakup oleh Nash al-Qur’an,garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1. Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan.
2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti
3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat, mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yangpertama, amaliyah yangkadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.[6]
F. Dalil Dan Macam-Macam Dalil
Dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah. Sehingga segala sesuatu perbuatan yang dikerjakan oleh mukallaf dapat dikanai hukum syara.Adapun pembagian dalil dapat dilakukan dalam berbagai aspek. Jika Ditinjau dari segi asalnya dalil dapat dikelompokkan menjadi dua :Dalil naqli dan Dalil aqli. Ditinjau dari ruang lingkupnya yaitu : Dalil kulli dan Dalil juz’I, dan jika Ditinjau dari segi daya kekuatannya digolongkan kedalam Dalil qoth’I dan Dalil dhonni.

a. Dalil Qath’i
Qath’I menurut bahasa mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak membuka penafsiran yang lain.[7] Nash-nash Al-Qur’an, seluruhnya bersifat qoth’i dari segi kehadiranya dan ketetapanya , dan periwayatanya dari Rosulullah.[8]Menurut Abdul Wahab Khallaf Qath’I adalah sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadist).
Qath’Idan Zhonni merupakan salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau sumber suatu dalil.Dalam dalil Qath’I ada ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an mengenai rukun-rukun agama seperti shalat dan puasa, bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum  yang telah ditetapkan semuanya yang tidak mungkin dibantah oleh siapapun, setiap orang wajib mengikutinya dan ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad.
Nash-nash yang qoth’i adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti yang pemahamannya tertentu , tidak mungkin ditakwilkan dan tidak mungkin diphahamkan lain. seperti ayat dibawah ini :
Tentang warisan
Artinya :Dan bagimu (suami-suami) seper dua dari harta yang ditiggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak (an-Nisa')
ayat ini qoth’i dalalahnya karena dengan tegas hak suami yang ditinggalkan oleh mati istrinyayang tidak punya anak, artinya bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain.


Tentang hukuman had zina
Artinya : Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan  kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman. (an-Nur : 2)
Ayat-ayat yang  menyangkut hal-hal tersebut,  maknanya jelas dan tegas dan menujukkan arti dan maksud tertentu dan dalammemahaminya tidak memerlukan ijtihad.
Tentang hukuman menuduh berzina
Artinya “Dan orang-orang  yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuatzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Bahwa seorang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina, sedangkan iatidak memiliki 4 orang saksi maka ia didera sebanayak 80 kali deraan sebagai hukuman telah menuduh. Kata“delapan puluh”merupakankata yang sudah jelas dan tidak mungkin kata tersebut dita’wil menjadi kalimat lain.
b. Dalil Dzanni
Secara bahasa yang dimaksud dengan Dzanni adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah). Adapun Dzanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis)yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.

Dalil dzanni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Sedangkan nash-nash yang dzanny dalalahhnya adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti akan tetapi ada kemungkinan bisa ditakwilkan[9].
Contoh-contoh Dalil DzanniAl Baqarah : 228Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri(menunggu) tiga kali quru”.(Al Baqarah : 228)
Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih).  Di dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’.
Dalam hal ini sangatlah wajar apabila para ulama’ berbeda pendapat , lafazd ‘am, dan yang sewmacamnya mengandung pemahaman yang yang dzanny, karena meskipun menunjuk pada suatu arti , akan tetapi ada kemungkinan pemahaman yang lain,Al Maidah : 3Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”. (Al-Maidah : 3).
Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat tersebut ‘Am, yang mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am mutlak dan yang seperti itu maka disebut zhanni dalalahnya. hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.
Dengan demikian istilah qoth’i dan dzanni menyangkut soal nilai suatu dalil , hal-hal yang qoth’i tidak diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dzanni baik didalam fungsinya maupun didalam tempatnya.

c. Dalil Kully
Dalil kully adalah dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf[10]. Dalil kully ini ada kalanya ayat al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah. Contoh dari ketiganya ialah:
Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29:
“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.”
Ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk dipergunakan oleh manusia. Kataمَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا(segala sesuatu yang ada di bumi) bersifat umum mencakupsemua yang ada di darat dan di laut.Dari ayat ini diambil dasar kaidah:الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ“Pokok hukum segala sesuatu adalah membolehkan”.
Hadist Nabi yang berbunyi:عَنْ أَبِى سَعِيْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سَنَانٍ الخُدْرِى قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ“Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: “Tidak boleh memadlaratkan diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain” (H.R. Ibnu Majah dan Daru Quthniy).[11]
Hadits di atas melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan dibangun atas dasar kemaslahatan.Kaidah fikih yang berbunyi:“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”.
Di antara contoh dalil yang juz’iy adalah ayat:
     “Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.
Dalam pembahasan mengenai kedua dalilini harus dibedakan antara dalil yang kully dengan lafadz‘am,dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas. Istilah ‘am dan khas, dikenal di dalam kajian lafadz atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an, di mana yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut pandang kata perkata.[12]
d. Dalil Juz’i
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu hukum tertentu.Contohnya :
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqoroh :183)
Ayat diatas termasuk kedalam dalil juz’I, karena hanya menunjukkan kepada perintah puasa saja.[13]
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara:
a. Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih disebut sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
b. Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum , dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci beberapa kali sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci, dan berapa benda yang wajib dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus di zakatkan. Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum dan mutlak ini, Rasulullah Saw, melalui sunnahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan, dan membatasi.[14]

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah. Sehingga segala sesuatu perbuatan yang dikerjakan oleh mukallaf dapat dikanai hukum syara.Adapun pembagian dalil dapat dilakukan dalam berbagai aspek. Jika Ditinjau dari segi asalnya dalil dapat dikelompokkan menjadi dua :Dalil naqli dan Dalil aqli. Ditinjau dari ruang lingkupnya yaitu : Dalil kulli dan Dalil juz’I, dan jika Ditinjau dari segi daya kekuatannya digolongkan kedalam Dalil qoth’I dan Dalil dhonni.
Dalil Qath’I menurut bahasa mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak membuka penafsiran yang lain.
Dalil dzonni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Dalil kully adalah dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf. Dalil kully ini ada kalanya ayat al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu hukum tertentu
B.Saran –Saran
Untuk mendapatkan manfaat yang sempurna dari Makalah yang penulis buatini, hedaknya PembacaMemberikan Kritik dan saran serta melakukan Pengkajian Ulang (diskusi) terhadap penulisan sehingga penulis terhindar dari Kekeliruan.


















DAFTAR PUSTAKA

Ushul Fiqih Prof. DR. Amir Syarifudin, Penerbit Zikrul Hakim
Prof. Dr. rachmat syafe’I M.A Ilmu ushul Fiqhuntuk UIN, STAIN dan PTAIS pustaka setia Bandung 2007
Mannaa’ Khaliil Al-Qattaan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, Elektronik Book, “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009Elektonik Book “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang.
Prof.Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh.Semarang:Dina Utama,1994
http://rahasiasuksesirfanansori.wordpress.com/2011/10/31/al-quran-sebagai-sumber-hukum-islam-pertama/
Djazuli, Prof. Drs. H.A., Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014).
Wahhab Khallaf, Abdul, Prof.,Ilmu Ushul Hadits,( Semarang:Dina UtamaSemarang , 1994 )
Www. Makalah Ushul Fiqih Dalil Qoth’i Dan Dzonni21/11/2015
Www.Dalilkullydanjuz’i.com,(30,09,2015)
[1]Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA. Hal: 50
[2]Dikutip dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang
[3]dikutip dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang
[4]Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA.Hal: 51
[5]Dikutip dari “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009
[6]Dikutip dari, “ilmu ushul fiqh”. Prof.Dr.Abdul Wahhab Khalaf
[7]www. Makalah ushul fiqih dalil qoth’i dan dzonni21/11/2015
[8]Prof. Abdul Wahhab Khallaf.,Ilmu ushul hadits,( Semarang:Dina UtamaSemarang , 1994 ), halaman36.
[9]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), halaman 85-86.[5]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014), halaman 86.
[10]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih, (Metodologi Hukum Islam),(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
[11]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
[12]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
[13]www.dalilkullydanjuz’i.com,(30,09,2015/14.35 WIB).
[14]Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol aen M. A ,ushul fiqih(metodologi hukum islam),(jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014),halaman 86.

Sunday, September 3, 2017

MAKALAH
KEBIJAKAN MONETER
Dosen pembimbing : Bp Nazery M.Esy

Disusun Oleh :
Nama
Sulistiyawati
Siti roudhotul jannah
Redy Prasetyo




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TULANG BAWANG
TAHUN AKADEMIK 2017/18
LAMPUNG


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dalam penulisan makalah ini sehingga berjalan dengan lancar. Makalah ini berjudul “KEBIJAKAN MONETER”.

Semoga Ilmu dalam Makalah yang saya buat ini dapat bermanfaat bagi diri saya pribadi dan utamanya bagi pembaca. Demi kesempurnaan Makalah ini saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Dan kepada Bapak/Ibu dosen yang mengajarkan mata kuliah ini saya ucapkan terima kasih.














DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR…………………………………………………… I
DAFTAR ISI……………………………………………………………... II

BAB I    PENDAHULUAN……………………………………………… III
A. Latar Belakang……………………………………………………... III
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. IV
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………… IV
BAB II   PEMBAHASAN……………………………………………….. 1
A. Pengertian Kebijakan Moneter…………………………………… 1
B. Jenis-Jenis Dan Indikator Kebijakan Moneter…………………… 3
C. Tujuan Kebijakan Moneter……………………………………….. 5
D. Instrumen Kebijakan Moneter……………………………………. 7
E. Saluran Transmisi Kebijakan Moneter…………………………… 9
BAB III  PENUTUP……………………………………………………… 12
A. Kesimpulan………………………………………………………...12
B. Saran……………………………………………………………… 13


DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah memegang peranan penting dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat pada suatu negara. Pada periode 1960-1965, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik. Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak mengherankan jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan investasi merosot tajam.

Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang rupiah juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada pemerintah serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada lembaga-lembaga negara dan pengusaha. Kebijakan moneter merupakan instrumen yang sangat diandalkan dalam mengatasi permasalahan ekonomi yang ada pada suatu negara. Dengan demikian, kebijakan moneter sangatlah penting dalam pembangunan dan pengembangan suatu negara.








B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan diantaranya :
1. Apa itu Kebijakan Moneter ?
2. Apa saja jenis dan indikator kebijakan moneter ?
3. Apa saja tujuan dari Kebijakan Moneter ?
4. Seperti apa Instrumen Kebijakan Moneter ?
5. Bagaimana saluran transmisi kebijakan moneter?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1.      Mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai Kebijakan Moneter.
2.      Agar kita dapat mengetahui instrument atau aktivitas Kebijankan Moneter.
3.      Mengetahui lebih rinci apa mekanisme atau peraturan Kebijakan Moneter.














BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebijakan Moneter
Menurut wikipedia kebijakan adalah serangkaian konsep dan strategi serta asas yang dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan langkah-langkah bertindak. Sedangkan moneter memiliki arti uang, keuangan, mengenai uang, serta segala hal yang berkaitan dengan uang. Berdasarkan pengertian kedua istilah diatas maka kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah yang berkaiatan dengan uang.
Sedangkan secara umum kebijakan moneter adalah langkah-langkah pemerintah dalam hal ini bank sentral (di Indonesia bernama Bank Indonesia) untuk mengatur ketersediaan uang yang beredar demi kestabilan keuangan dan perekonomian (moneter) negara.
Kebijakan moneter (Monetary Policy) adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah atau otoritas moneter dengan menggunakan peubah jumlah uang beredar (money supply) dan tingkat bunga (interest rates) untuk mempengaruhi tingkat permintaan agregat (aggregate demand) dan mengurangi ketidakstabilan di dalam perekonomian.
 Kebijakan moneter adalah semua tindakan atau upaya bank sentral untuk mempengaruhi perkembangan variabel moneter (uang beredar, suku bunga, suku bunga kredit, dan nilai tukar) untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Sebagai bagian dari kebijakan ekonomi makro, maka tujuan moneter adalah untuk membantu mencapai sasaran-sasaran makro ekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, stabilitas harga, dan keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran tersebut merupakan tujuan akhir kebijakan moneter. (Natsir,2011).

Kebijakan moneter merupakan tindakan pemerintah (Bank Sentral) untuk mempengaruhi situasi makro yang dilaksanakan. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang (Boediono,1991:96).
Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter (monetary aggregates) untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Kebijakan moneter merupakan bagian integral kebijakan ekonomi makro yang dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomian suatu negara, serta faktor-faktor fundamental ekonomi lainnya. (Warjiyo, 2004)

Dalam undang-undang Bank Indonesia No.23 tahun 1999 yang telah diubah dalam UU No. 3 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa kebijakan moneter adalah kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga (Amandemen Undang-Undang Bank Indonesia, 2004).

B. Jenis-Jenis dan Indikator Kebijakan Moneter
1. Jenis-jenis Kebijakan Moneter

A. Monetery Expansive Policy (Kebijakan Moneter Ekspansif)
Kebijakan Moneter Ekspansif juga banyak dikenal sebagai Kebijakan Moneter longgar (easy money policy)Kebijakan moneter ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat). Kebijakan ini diterapkan pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Penerapan kebijakan ini seperti :
1)      Politik diskonto (penurunan tingkat suku bunga)
2)      Politik pasar terbuka (pembelian surat-surat berharga, misalnya saham dan   obligasi).
3)      Politik cash ratio (penurunan cadangan kas)
4)      Politik kredit selektif (pemberian kredit longgar)
Tujuan Kebijakan Moneter Ekspansif adalah
1)  Untuk mengurangi pengangguran
2)  Meningkatkan daya beli masyarakat saat ekonomi lesu (resesi atau depresi)




B. Monetery Kontraktif Policy (Kebijakan Moneter Kontraktif)
Kebijakan Moneter Kontraktif adalah suatu kebijakan pemerintah dengan cara mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Kebijakan moneter kontraktif dikeluarkan saat perekonomian negara mengalami inflasi (inflasi adalah: nilai tukar uang yang merosot) yang mengakibatkan naiknya harga barang di pasaran. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi.Kebijakan ini dapat diterapkan berupa :
1)      Politik diskonto (peningkatan suku bunga)
2)      Politik pasar terbuka (penjualan surat berharga)
3)      Politik cash ratio (peningkatan cadangan kas)
4)      Politik kredit selektif (pengetatan pemberian kredit)
2. Indikator Kebijakan Moneter

A. Tingkat Suku Bunga,
Kebijakan moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran antara akan menetapkan tingkat suku bunga yang ideal untuk mendorong kegiatan investasi. Apabila suku bunga menunjukkan kenaikan melampaui angka yang ditetapkan, maka bank sentral akan segera melakukan ekspansi moneter agar suku bunga turun sampai tingkat yang ditetapkan.
B. Uang Beredar (Monetary Aggregate)
Kebijakan moneter yang menggunakan monetary aggregate atau uang beredar sebagai sasaran menengah yang mempunyai dampak positif berupa harga yang stabil.
C. Tujuan Kebijakan Moneter
Secara umum, tujuan kebijakan moneter adalah untuk menjaga kestabilan peredaran uang pada suatu negara (berdasarkan UU No. 3 tahun 2004  pasal 7 tentang Bank Indonesia), yang ditandai dengan meningkatnya lapangan pekerjaan dan menggairahkan dunia usaha kecil menengah. Adapun tujuan kebijakan moneter secara spesifik adalah sebagai berikut
a. Menjaga Kestabilan Ekonomi
Artinya suatu keadaan dimana perekonomian yang berjalan sesuia dengan harapan dan tujuan serta seimbang dan berkesinambungan. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai suatu keadaan dimana uang yang beredar sesuai dengan barang dan jasa yang tersedia di pasaran.
b. Menjaga Kestabilan Harga
Interaksi antara uang dengan barang dan jasa akan mengasilkan harga. Keadaan ekonomi dikatakan tidak stabil ketika harga dipasaran fluktuatif (naik turun). Yang leih parahnya jika harga terus naik.Keadaan ini berakibat pada jumlah uang yang masyarakat belanjakan, untuk mendapatkan barang yang sedikit masyarakat harus mengeluarkan uang yang banyak.
Contoh: pada hari-hari biasa ibu Andy bisa membeli 10kg setiap minggunya dengan harga Rp. 89.000. Sedangkan ketika harga sembako naik ibu Andy harus mengeluarkan uang Rp.150.000 untuk membeli beras 10 kg dengan jenis yang sama.


c. Membuka Kesempatan Kerja
Ketika ekonomi stabil (suatu keadaan dimana perputaran uang sebanding dengan perputaran barang dan jasa) para pengusaha dan investor akan tertarik menanamkan modalnya di perusahaan suatu daerah atau negara. Dengan begini perusahaan akan membutuhkan tenaga kerja baru untuk mengembangkan perusahaannya.
d. Memeperbaiki Neraca Perdagangan dan Pembayaran
Dalam hal ini mendevaluasi mata uang rupiah terhadap mata uang asing sangat penting dilakukan oleh pemerintah tentunya disaat tertentu.Dengan mendevaluasi (penurunan nilai tukar uang yang dilakukan dengan sengaja terhadap nilai uang internasional atau terhadap emas) nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing maka harga barang ekspor kita akan menjadi lebih murah.
Dengan begini akan meningkatkan daya saing barang-barang yang kita ekspor dan meningkatnya jumlah ekspor. Peningkatan jumlah barang ekspor tentunya akan membantu memperbaiki neraca perdagangan dan pembayaran.
Penjelasan lebih detail tujuan moneter adalah sebagai berikut:
1. Mengedarkan mata uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dalam perekonomian.
2. Mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan likuiditas perekonomian dan stabilitas tingkat harga.
3. Distribusi likuiditas yang optimal dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan pada berbagai sektor ekonomi.
4. Membantu pemerintah melaksanakan kewajibannya yang tidak dapat terealisasi melalui sumber penerimaan yang normal.
5. Menjaga kestabilan Ekonomi,artinya pertumbuhan arus barang dan jasa seimbang dengan pertumbuhan arus barang dan jasa yang tersedia.
6. Menjaga kestabilan Harga, Harga suatu barang merupakan hasil interaksi antara jumlah uang yang beredar dengan jumlah uang yang tersedia di pasar.
7. Meningkatkan kesempatan kerja, Pada saat perekonomian stabil pengusaha akan mengadakan investasi untuk menambah jumlah barang dan jasa sehingga adanya investasi akan membuka lapangan kerja baru sehingga memperluas kesempatan kerja masyarakat.
Memperbaiki neraca Perdagangan Kerja Masyarakat dengan jalan meningkatkan ekspor dan mengurangi impor dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri atau sebaliknya.
D. Instrumen Kebijakan Moneter
Terdapat empat instrumen kebijakan moneter, yaitu sebagai berikut (Pohan, 2008):
1. Cadangan wajib (reserve requirement)
Merupakan ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve) sebesar persentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil persentasenya, semakin besar kemampuan bank memanfaatkan reserve-nya untuk memberikan pinjaman dalam jumlah yang lebih besar kepada masyarakat. Begitu pula sebaliknya, semakin besar persentasenya, semakin berkurang kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Oleh karena itu, pinjaman perbankan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar.
2. Operasi Pasar Terbuka (OPT)
Operasi pasar terbuka adalah kegiatan jual beli surat-surat berharga oleh bank sentral. OPT dilaksanakan untuk mempengaruhi likuiditas rupiah di pasar uang, yang juga akan mempengaruhi tingkat suku bunga.
3. Fasilitas Diskonto
Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar melalui penetapan diskonto pinjaman bank sentral kepada bank. Dengan menetapkan tingkat diskonto yang tinggi diharapkan bank-bank akan mengurangi permintaan kredit dan bank sentral, yang akan mengurangi jumlah uang beredar. Begitu pula sebaliknya.
4. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.Merupakan kebijakan bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar atau likuiditas di pasar uang melalui jual beli valuta asing atau cadangan devisa.
5. Imbauan Moral (Moral Persuasion)

Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian. Imbauan ini bersifat tidak mengikat, tetapi sebagai lembaga yang kredibel imbauan bank sentral yang memiliki dampak cukup efektif dalam kebijakan moneter.

E. Saluran Transmisi Kebijakan Moneter
1.      Saluran Uang
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran uang dimulai dengan tindakan bank sentral mengendalikan uang primer (B) sesuai dengan sasaran akhir yang ingin dicapai, dengan money multiplier ditransmisikan ke jumlah uang beredar (M1, M2) sesuai permintaan masyarakat. Pada akhirnya, jumlah uang beredar ini akan mempengaruhi perekonomian yaitu inflasi dan output riil.

2.      Saluran Kredit
Dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit, pasar kredit sangatlah mempengaruhi transmisi keuangan dari sector moneter ke sector riil. Pasar kredit tidak selalu dalam keadaan seimbang karena adanya informasi yang tidak seimbang maupun sebab lain. Terdapat dua saluran kredit yang mempengaruhi transmisi kebijakan moneter dari keuangan ke sktor riil, yakni saluran kredit bank yang lebih mementingkan perilaku bank yang lebih selektif dalam melakukan seleksi kredit karena asymetris information atau sebab lain dan saluran neraca perusahaan yang lebih mementingkan kondisi leverage perusahaan yang berpengaruh dalam pemberian kredit. Perkembangan kredit perbankan akan berpengaruh terhadap inflasi dan output riil melalui dua hal, yaitu perkembangan investasi dan perkembangan konsumsi.



3.      Saluran Suku Bunga
Saluran suku bunga lebih mementingkanaspek harga di pasar keuangan terhadap aktivitas ekonomi di sector riil. Kebijakan moneter yang diambil bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga di berbagai sector keuangan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap tingkat inflasi dan output riil. Tahap pertama, kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap suku bunga jangka pendek di pasar uang rupiah yang selanjutnya berpengaruh terhadap suku bunga deposito yang diberikan perbankan kepada simpanan masyarakat dan suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada debiturnya. Pada tahap kedua, transmisi suku bunga dari sector keuangan ke sector riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan investasi dalam perekonomian. Pengaruh suku bunga terhadap prmintaan konsumsi terjadi karena bunga deposito merupakan dari pendapatan masyarakat dan bunga kredit sebagai pembiayaan konsumsi. Pengaruh suku bunga terhadap investasi terjadi karena suku bunga kredit merupakan komponen biaya modal disamping yield obligasi dan deviden saham, dalam pembiayaan investasi. Kedua pengaruh diatas selanjutnya akan mempengaruhi besarnya permintaan agregat yang pada akhirnya menentukan tingkat inflasi dan output riil.

4.      Saluran Nilai Tukar
Saluran nilai tukar lebih menekankan pada pentingnya pengaruh perubahan harga asset fiansial terhadap berbagai aktivitas ekonomi. Pentingnya saluran nilai tukar dalam transmisi kebijakan moneter terletak pada pengaruh asset financial dalam bentuk valuta asing yang timbul dari kegiatan ekonomi suatu Negara dengan Negara lain.Pengaruhnya terjadi melalui perubahan nilai tukar dan besar aliran dana yang masuk dan keluar dari suatu Negara karena kegiatan perdagangan luar negeri maupun adanya modal investasi, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap tingkat inflasi dan output riil dari Negara yang bersangkutan.
5.      Saluran Harga Aset
Mekanisme transmisi melalui saluran harga asset terjadi melalui pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi bagi para investor, baik karena perubahan kekayaan yang dimiliki maupun perubahan pendapatan yang dikonsumsi yang timbul dari penanaman asset financial dan fisik tersebut.  Pengaruh asset terhadap sector riil juga terjadi permintaan investasi oleh perusahaan , ini disebabkan perubahan harga asset tersebut yang berpengaruh terhadap biaya modal yang harus dikeluarkan dalam produksi dan investasi oleh perusahaan. Kedua pengaruh harga asset tersebut selanjutnya akan berpengaruh terhadap permintaan agregat yang akan mempengaruhi tingkat inflasi dan output riil.
6.      Saluran Ekspektasi
Dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dalam ekonomi dan keuangan, saluran ekspektasi menjadi semakin penting dalam mekanisme kebijakan moneter ke sector riil. Para pelaku ekonomi akan membentuk persepsi tertentu mengenai prsopek ekonomi ke depan dalam menjalajnkan tindakan bisnisnya. Berkaitan dengan kebijakan moneter, yang paling diperhatikan adalah ekspektasi inflasi yang timbul di masyarakat. Ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perkembangan inflasi yang telah terjadi dan pengaruh kebijakan moneter oleh bank sentral yang ditunjukan dengan perkembangan suku bunga dan nilai tukar. Semakin kredibel kebijakan moneter, yang ditunjukan dengan kemampuannya dalam mengendalikan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar, semakin kuat pula dampaknya pada ekspektasi inflasi di masyarakat. Pengaruh ekspektasi inflasi terhadap permintaan agregat terjadi karena dampaknya terhadap suku bunga riil yang dipertimbangkan dalam menentukan besarnya permintaan konsumsi dan investasi di masyarakat. Pengaruh ekspektasi inflasi terhadap penawaran agregat terjadi melalui perubahan pola pembentukan harga produk  oleh perusahaan. Pengaruh ekspektasi  inflasi terhadap permintaan dan penawaran agregat tersebut akan mempengaruhi output riil dan tingkat inflasi dalam ekonomi.

BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil
Jenis-jenis kebijakan moneter yaitu Monetery Expansive Policy (Kebijakan Moneter Ekspansif) yang bertujuan untuk mengurangi pengangguran serta Meningkatkan daya beli masyarakat saat ekonomi lesu (resesi atau depresi) dan ada juga jenis Monetery Kontraktif Policy (Kebijakan Moneter Kontraktif). Indikator kebijakan moneter ada dua yaitu tingkat suku bunga dan uang beredar. Tujuan kebijakan moneter yaitu menjaga kestabilan ekonomi, menjaga kestabilan harga, membuka kesempatan kerja, memperbaik neraca perdagangan dan pembayaan.


B. SARAN
Penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu bahan untuk dapat menambah pengetahuan dalam hal ini pengertian, fungsi dan peranan hokum. Dan juga penulis mengharapkan adanya sumbangsih kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyusunan makalah berikut nya yang lebih baik lagi. Dan semoga alloh meridhoi semua yang penulis tulis. Amiin.

















Daftar Pustaka

Amandemen Undang-Undang Bank Indonesia. 2004. Jakarta: Sinar Grafika.
Nanga, Muana. 2005. Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Natsir, M. 2011. Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia Melalui Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel) Periode 1990:2-2007:1. Kendari: Unhalu.
Boediono. 1991. Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Warjiyo, Perry. 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan BI.
Pohan, Aulia. 2008. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implikasinya di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Saturday, April 29, 2017

MAKALAH
ULUMUL HADITS
Pembagian Hadits dari segi Kuantitas dan Kualitas
Dosen Pembimbing:
M.Zainul Umam. M.Pd.I
Prodi : Ekonomi Syari’ah

Disusun Oleh:
NAMA NPM
Redy Prastyo 169201041
Rita Imroatus Sholihah 169201030
Riyantoni 169201031



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TULANG BAWANG
TAHUN AKADEMIK 2017

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami ucapkanpuji dan syukurdenganberkat rahmat Allah swt yang telah memudahkan kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang diutus dengan membawa syari’ah yang mudah, penuh rahmat, dan membawa keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Makalahberjudul Pembagian hadits dari segi Kuantitas dan Kualitas (sanak) ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits. Kami  telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada agar makalah ini dapat tersusun sesuai harapan.Sesuai dengan fitrahnya, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan, maka dalam makalah yang kami susun inibelum mencapai tahap kesempurnaan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Bapak M.Zainul Umam. M.Pd.I yang telah memberikan tugas makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua dalam kehidupan sehari-hari.



Tulang Bawang, 25 maret 2017

Penulis
DAFTAR ISI
COVER……………………………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………....ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..iii
BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................5
C. Tujuan Masalah……………………………………………………………………5
BAB II PEMBAHASAN 6
A. HADITS MUTAWATIR 6
1. Pengertian Hadits Mutawatir 6
2. Syarat – syarat Hadits Mutawatir 7
3. Hukum Mutawatir atau Kehujjahan Hadits Mutawatir 8
4. Jenis - jenis Hadits Mutawatir 8
5. Kitab - Kitab Hadits Mutawatir 10
6.  Contoh Hadits Muttawatir 10
B. HADITS AHAD 11
1. Pengertian Hadits Ahad 11
2. Pembagian Hadits Ahad 11
3. KEHUJJAHAN HADITS AHAD 14
C. HADITS SHAHIH 17
1.  Pengertian Hadits Shahih 17
2.  Jenis - Jenis Hadits Shahih 18
3.  Kehujjahan Hadits Shahih 18
4.  Kitab - Kitab Hadits Shahih 18
5.  Syarat-syarat Hadits Shahih 19
D. HADITS DHA’IF 22
1.  Pengertian Hadits Dha’if 22
2.  Kriteria - Kriteria Hadits Dha’if 23
3.  Macam - Macam Hadits Dha’if 23
4.  Kehujjahan Hadits Dha’if 24
5.  Kitab - Kitab Hadits Dha’if 24
E. HADITS HASAN 25
1   Pengertian Hadits Hasan 25
2.  Klasifikasi Hadits Hasan 26
3.  Kehujahan Hadits Hasan 26
F.  HADITS MASYHUR 27
1.  Pengertian Hadits Masyhur 27
2.  Pembagian Hadits Masyhur 27

BAB III PENUTUP 33

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………34













BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah AlQur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits merupakan sumber ajaran islam  setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termasuk dalam Al-Qur’an.Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda. Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah pengertian suatu hadits dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak.
B.     RumusanMasalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut;
1.Apa pengertian hadits Mutawatir dan berserta contohnya?
2. Apa pengertian hadits Ahaddan berserta contohnya?
3. Apapengertian hadits Shahihdan berserta contohnya?
4. Apa pengertian hadits Dha’ifdan berserta contohnya?
5.  Apa pengertian hadits Hasan dan berserta contohnya?
6.  Apa pengertian hadits Masyhurdan berserta contohnya?
C. Manfaat Penulisan
   Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai sarana untuk menambah ilmu pengetahuan yang telah kita miliki terutama tentang ilmu hadits.











BAB II
PEMBAHASAN

A. HADITS MUTAWATIR
1.   Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir secara bahasa,merupakan isim fa’il,dari kata at-tawatur,yang bermakna at-tatabu’ (berturut-turut). Dalam hal ini.mutawatir mengandung pengertian yang bersifat kontinyu,baik secara berturut maupun terus menerus tanpa ada hal yang menyela dan menghalangi kontinuitas itu. Secara istilahi yang  lengkap dikemukakan oleh Muhammad  ‘Ajjaj Al-khatib:

"ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكاذب عن مثلهم من اول السند الى منتهاه ان لا يختل هذا الجمع في اي طبقة  من طيقات السند "

“Hadits yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan) dari sejumlah periwayat dengan jumlah yang sepadan semenjak sanad yang pertama sampai sanad yang terakhir dengan syarat jumlah itu tidak berkurang pada setiap tingkatan sanadnya².
   Adapun dari beberapa sumber redaksi yang lain mengatakan tentang pengertian mutawatir:
"ما كانا عن محسوس  أخبر به جماعة بلغوا في الكثرة مبلغا تحيل العادة تواطؤهم على الكاذب"

“ Hadits yang didasarkan pada pancaindra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong”
    Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat berdusta. Atau dalam pengertian yang lain hadits mutawatir ialah berita hadits yang bersifat indrawi (didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mencapai maksimal diseluruh tingkatan sanad dan akal yang menghukumi mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal berpijak untuk kebohongan. Dan adapun sandaran beritanya berdasarkan sesuatu yang dapat di indra seperti  disaksikan, didengar diraba,dicium atau dirasa.

  Mahmud At-Tahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits (Surabaya:Syirkah Bungkul Indah,tth), hlm 19
  Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, hlm 301

2.      Syarat – syarat Hadits Mutawatir
   Dari berbagai definisi tersebut kita telah menemukan syarat-syarat hadis mutawatir yang telah diketahui,yaitu ada 4:
1. Diriwayatkan sejumlah orang banyak.Mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Diantara sebagian ulama,mereka berpendapat jumlah minimal adalah 4. Ada yang berpendapat jumlah periwayat ada 5,10,orang (karena ia minimal jama’ kasrah) 40,70 orang (jumlah sahabat Nabi Musa A.S) bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih (jumlah tentara thalut dan ahli perang badar). Mengutip pendapat sebagian ulama yang terpitilih oleh Imam Al-Istikhari,Imam jalaluddin As-Syuyuti adalah 10 orang³. Sebenarnya inti dari penentuan jumlah tersebut adalah banyak orang yang karenanya mustahil mereka sepakat berdusta.
2. Adanya jumlah banyak pada seluruh tingakatan sanad.Maksudnya jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thaqabah) sanad dari awal sampai akhir sanad.
3. Mustahil bersepakat bohong.Pada masa awal pertumbuhan hadis memang tidak ega dianalogikan dengan masa modern sekarang ini. Disamping kejujuran dan daya memori mereka yang masih andal,transportasi.antar daerah tidak semudah sekarang. Perlu waktu yang lama dan ega sampai berbulan-bulan dalam kunjungan suatu egara. Berdasarkan hal ini jika periwayatan suatu hadis berjumlah besar,sangat sulit mereka sepakat bohong dalam suatu periwayatan.
4. Sandaran berita terletak pada pancaindraMaksudnya adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh  dengan kulit,tidak didasarkan pada logika atau akal.

3.      Hukum Mutawatir atau Kehujjahan Hadits Mutawatir
Dengan demikian,tidak ada perselisihan dikalangan para ulama tentang keyakinan faidah hadits mutawatir. Dan mereka bersepakat bahwa seluruh hadits mutawatir dapat diterima (maqbul) untuk dijadikan hujjah (dalil) tanpa harus mengkaji para perawinya
.
4.      Jenis - jenis Hadits Mutawatir
Sebagian ulama membagi hadis mutawatir menjadi 3 jenis, Yakni: Mutawatir lafzhi,ma’nawi,dan ’amali. Dan ada sebagian ulama lain seperti ulama ushul fiqh. Membaginya menjadi 2 jenis.Yakni : Mutawatir lafzhi dan ma’nawi.  
Jalaluddin ‘Abd Rahman Ibn Abi Bakar As-Syuyuthi, Tadrib al-Rawi fi syarh Taqrib An-Nawawi. Jilid II (Beirut:Dar al-fikr:1989) hlm 176-177
Sebagaimana perbedaan pembagian hadits dilihat dari segi kuantitasnya jumlah periwayat. Perbedaan jumlah tidak menjadi persoalan,karena jumlah dapat dipersingkat menjadi kecil dan dapat diperinci menjadi banyak yang penting substansinya adalah sama. Bagi yang  ia menghitung 2 macam,maka mutawatir ‘amalinya dimasukkan pada kedua macam tersebut. Karena ia melihat hadits mutawatir ‘amalinya sudah berbentuk periwayatan yang tidak lepas dari dua bentuk tersebut.


a.       Mutawatir lafzhi
Mutawatir lafzhi ialah
"هو ما تواتر لفطه و معناه"
 “Hadits yang mutawatir lafaz dan maknanya”
Menurut Muhammad Al-Sabbagh hadits mutawatir lafzhi  adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak periwayat sejak awal sampai akhir sanad dengan memakai redaksi yang sama.


Berhubung hadits mutawatir mensyaratkan:
1)   Dari segi sanad harus banyak periwayat yang meriwayatkannya sejak awal hingga akhir  sanad,dan,-
2)   Matan hadits yang diriwayatkan menggunakan redaksi yang sama, maka tidak banyak hadist yang diriwayatkan dengan cara ini.
Para ulama berbeda dalam memahami definisi mutawatir lafzhi,sehingga diantara mereka ada yang berpendapat hadits mutawatir hanya sedikit. Sekalipun sedikit jumlah menurut sebagian ulama tetapi, mereka tetap mengakui adanya hadis mutawatir lafzhi.

b.      Mutawatir ma’nawi
Mutawatir ma’nawi adalah
"ما تواتر معناه  دون لفطه"
“Hadits yang mutawatir maknanya,bukan lafazhnya”
Maksudnya adalah hadits yang hanya menjelaskan secara kongklusif. Hanya dari maknanya saja bukan lafaznya., makna lafaz boleh berbeda, tetapi maksud dan kesimpulannya sama.

  c,  Mutawatir ‘amali
        Mutawatir  ‘amali adalah:
"ما علم من الدين بالضرورة وتواتر بين المسلمين أن النبي صلى الله عليه وسلّمفعله أو أمر به أو غير ذلك"
 “Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir  anatara kaum muslimin bahwa Nabi SAW. Mengerjakannya atau menyuruhnya dan yang selain itu”

5.  Kitab - Kitab Hadits Mutawatir
Kitab hadits mutawatir antara lain sebagai berikut:
a)      Al-Azhar Al-Mutanatsiran fi Al-Akhbar A-Mutawatirah, karya As-Syuyuti
b)      Qathaf Al-Azhar, karya As-Syuyuti merupakan lanjutan karangan beliau
c)      Nazhm Al-Mutanatsir min Al-Hadis Al-Mutawatir, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani
d)     Al-La’ali Al-Mutanatsirah fil Al-Ahaddis Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi
6.      Contoh Hadits Muttawatir
Contoh Hadits Mutawatir
Hadits yang dikategorikan sebagai mutawatir jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan jenis hadits Ahad. Ada beberapa contoh hadits Mutawatir, yaitu hadits :
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”.
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِى فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا
“Semoga Allah melihat seorang yang mendengarkan ucapanku, lalu memahami dan menghapalkannya, kemudian menyampaikan ucapan tersebut”.
B.     HADITS AHAD
 1.     Pengertian Hadits Ahad
Kata Ahad (  أحاد ) adalah jama’ dari Ahadun (  أحد ) yang berarti satu. Hadits  ahad   menurut bahasa ialah yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Adapun menuurut terminology  ulama hadits, hadits ahad adalah:
 "هو ما لم يجتمع فيه شروط المتوا تر"
“Hadits yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat hadist mutawatir”
 Bagi ulama yang membedakan hadits dari segi kuantitas menjadi 3: Mutawatir,Masyhur,Ahad. Maka definisi hadits ahad ialah: “Hadits yang diriwayatkan oleh satu  orang atau dua orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur atau mutawatir”

2.      Pembagian Hadits Ahad
Pembagian hadits ahad terbagi 3 macam yaitu:
1)    Hadits Masyhur
2)    Hadits ‘Aziz
3)    Hadits Gharib

1. Hadits Masyhur
    Secara bahasa, lafaz masyhur berasal dari isim maf’ul,dari kata Syahara seperti
  شهرت الأمر" " (aku memasyhurkan sesuatu) yang berarti mengumumkan sesuatu atau dalam pengertian lain diartikan Terkenal, Tenar, Familiar atau Populer. Dalam istilah lain ulama membagi hadits masyhur 2 bagian:
a.    Masyhur Istilahi

"ما رواه ثلاثة فأكثر فى كلّ طبقة من طبقاة السند ما لم يبلغ حد التواتر"
“ Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap  tingkatan(thaqabah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir”.

Sebagian ulama berpendapat hadits masyhur sinonim dengan hadits mustafidh(dalam bahasa diartikan penuh dan tersebar) dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa mustafidh lebih khu

b.Masyhur Ghayr Isthilahi
Pengertiannya adalah
"ما اشتهر على ألألسنة من غير شروط تعتبر"
“ Hadist yang populer pada ungkapan lisan (para ulama)tanpa ada persyaratan yang definitif”
       Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Hadits Masyhur Ghayr Isthilahi adalah hadits yang populer atau terkenal dikalangan golongan atau kelompok orang tertentu.Sekalipun jumlah periwayat dalam sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih.Hadits ini hanya populer pada sekelompok orang atau ulama dalam bidang ilmu tertentu.Contoh :
"أبغض الحلال إلى اللّه الطلاق"
  “Halal yang dimurka Allah adalah Talak”
Hukum hadits masyhur baik isthilahi atau ghayr isthilahi tidak seluruhnya dinyatakan shahih atau tidak shahih,akan tetapi tergantung kepada hasil penelitian ulama. Sebagian hadits yang masyhur ada yang shahih sebagian hasan,dhaif,bahkan ada yang mawdhu’. Namun,memang diakui,bahwa keshahihan hadits masyhuristhilahi lebih kuat daripada keshahihan hadits ‘aziz dan gharib yang hanya diriwayatkan satu atau dua orang perawi saja.

Para ulama telah menyusun kitab-kitab tersendiri yang berisi tentang hadis masyhur. Seperti:
1. Al-Maqashid Al-Hasanah  fima usytuhira ‘alal Al-Sinah karya As-Sakhawi
2.   Kasyfu Al-Khafa wa Muzil Al-Ilbas fima usytuhira min al-Hadits ‘ala Al-Sinah An-Nas  karya: Al-Ajaluni
3,Tamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fima yadur ‘ala Al-Sinah An-Nas. Karya: Ad-Daiba    Asy-Syaibani

2. Hadits ‘Aziz
Dari segi bahasa berasal dari kata  (عزّـ يعزّ)  yang merupakan sifat musyabbahahyang artinya sedikit atau langka. Menurut istilah hadis ‘aziz adalah:
"أن لا يقلّ رواته عن التبن في جميع طبقاة السند"
 “Hadis yang semuanya thabaqah sanadnya tdak kurang dari dua orang periwayat”
  
Maksud definisi tesebut adalah menunjukkan bahwa hadits ‘aziz hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada seluruh tingkatan (thabaqah) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja.
Sebagaimana halnya hadits masyhur,hadits ‘aziz ada yangshahih,hasan,dha’if,bahkan ada yang mawdhu’.Tergantung persyaratan yang terpenuhi.Adapun kitab-kitab khusus hadits ‘aziz belum bisa didapatkan mungkin karena kelangkaan hadits tersebut.

3. Hadits Gharib

Kata Gharib secara bahasa berarti menyendiri(المنفرد) atau jauh dari kerabat. Dari segi istilah adalah
"ما تفرّد به راو واحد فى أيّ طبقة من طبقات السند"
”Hadits yang bersendiri seoramg perawi dimana saja tingkatan (thabaqah) daripada beberapa timgkatan sanad”

Nama lain yang satu arti dengan hadits gharib adalah hadits fard ( فرد  ) dalam bahasa diartikan tunggal atau satu jama’nya Afrad( أفرد  )
Hadits  gharib terdiri dari dua jenis:
a. Gharib Mutlak,yaitu:
"هو ما كانت الغاربة فى أصل سنده و أصل السند هو طرفه ألّذى فيه الصحابي"
  “Hadits yang gharabahnya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad.Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seeorang sahabat”

b.    Gharib nishbi (elative)yaitu :

"ما كانت الغرابة فى اثناء السند"
“Hadist yang terjadi gharabahnya (perawinya satu orang) ditengah sanad.”

Gharabah nishbi terbagi tiga macam :
1) Muqayyad bi ats-tsiqah
 2) Muqayyad bi al-balad
 3) Muqayyad ‘ala ar-rawi
Kitab-kitab hadits yang diduga banyak hadits gharib ialah:
1.)  Kitab Athraf Al-Gharib Wa-Al-Afrad karya Muhammad Thahir Al-Maqdisi.
2.) Musnad Al-Bazzar.
3.)Al-Mu’jam Al-Ausath karya At-Thabarani.

3.       KEHUJJAHAN HADITS AHAD
   Jumhur ulama baik dari sahabat tabi’in, serta para ulama sesudah mereka dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul berpendapat bahwa hadits ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah yang wajib diamalkan dengan syarat hadits tersebut sebagai kewajiban syar’i bukan akli.

   Contoh Hadits Ahad
Contoh pertama, hadits nomor 1, yang kami bawakan dari Shahih Bukhariyaitu sebuah hadits ahad dan gharib.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan.Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan”.[Muttafaqun ‘alaih].
Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah?Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan.Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib.Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.
Hadits nomor 7, yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari.Hadits yang panjang, berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain.Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius.Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan :
مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ
“Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu Sufyan) menjawab,”Muhammad mengatakan: ‘ Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian’. Muhammad (juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali silaturrahim…””
Apakah yang dimaksudkan dalam hadits ini bukan aqidah?Demikian ini aqidah, merupakan hadits ahad dan bukan mutawatir. Bahkan dalam hadits yang mulia ini terdapat surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah dan RasulNya kepada Hirakla (Hiraklius) pembesar Romawi, keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk, amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dengan ajakan Islam, Islamlah! Engkau pasti akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu balasan dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa-dosa rakyatmu. (Kemudian Rasulullah n membawakan ayat, yang artinya:) Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. [Ali Imran:64].
Surat ini mengajak Hiraklius untuk masuk Islam, kembali ke agama tauhid.Apakah seperti ini bukan aqidah?Demikian ini adalah masalah aqidah.Bahkan dalam hadits ini terkumpul masalah akhlak, hukum, aqidah dan sebagainya.Kalau hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah, maka hadits yang mulia ini tertolak.

C.      HADITS SHAHIH
1.      Pengertian Hadits Shahih
Kata shahih.(  الصحيح) dalam bahasa diartikan orang sehat antonym dari kata as-saqim(  السقيم )orang yang sakit. Jadi yang dimaksudkan hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat .menurut Shubhi As-Shalih, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung,diriwayatkan oleh periwayat ‘adil dan dhabit hingga bersambung kepada Rasullah SAW atau pada sanad terakhir  berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syadz ataupun cacat(‘illat)3.. Dari definisi tersebut dapatdiambil kesimpulan dan kesimpulannya hadits shahih mempunyai 5 kriteria:
a) Sanadnya Bersambung
Yang dimaksud sanadnya bersambung ialah:tiap-tiap periwayat dalam sanadnya bertemu secara langsung(  مباشرة ) atau secara hukum ( حكمى) dari awal sampai akhir sanad.

b) Perawinya Bersifat  ‘Adil
Para ulama berbeda pendapat tentang krtieria periwayat hadits yang bersifat ‘adil. Tetapi mereka memberi tujuan yang sama hanya saja penafsirannya yang berbeda. Adapun criteria perawi yang bersifat ‘adil adalah : -Islam.-Mukallaf.-Melaksanakan ketentuan agama.-Memelihara muru’ah.
  
c) Perawinya Bersifat Dhabit (Memiliki daya ingat yang kuat)
Para perawi memiliki daya ingat yang kuat termasuk soal hafalan.Ini sangat diperlikan dalam rangka menjaga otentisitas hadis.Mengingat tidak seluruh hadis tercatat pada masa awal perkembangan hadis.

d) Tidak ada kejanggalan (syadz)
Dalam hadits shahih tersebut tidak terjadi adanya kejanggalan (syadz) baik dari segi matan maupun sanadnya  atau perawi itu sendiri.

e) Tidak ada cacat (‘illat)
Maksudnya suatu hadits bisa terjadi cacat (‘illat) karena ada sebab tersembunyi yang membuat cacat keabshahan suatu hadist padahal zhahihrnya (matan) selamat dari cacat tersebut. Besar kemungkinan dikarenakan perawinya seorang fasik,ahli bid’ah,kurang bagus hafalannya.

2. Jenis - Jenis Hadits Shahih
 Yakni ada 2 jenis:
a. Shahih Lidzatih
     Shahih dengan sendirinya karena telah memenuhi 5 syarat hadis shahih.

b. Shahih Lighayrih
     Shahih karena ada sebab yang lain. Yaitu hadits hasan lidzatih karena ada periwayatan yang lain yang mendukung  sebab naiknya hadits shahih lighayrih.

3. Kehujjahan Hadits Shahih

Para ulama sepakat menggunakan hadits shahih sebagai hujjah (dalil) dalam bidang hukum,sosial,akhlak,ekonomi,dan sebagainya.Kecuali dalam bidang akidah, hadis shahih yang ahad masih diperselisihkan para ulama.

4.      Kitab - Kitab Hadits Shahih
1) Shahih Al-Bukhari
2) Shahih Muslim
3) Shahih Ibnu Khuzaimah
4) Shahih Ibnu Hibban
5) Shahih Ibnu As-Sakan
6) Shahih Al-Albani
7)Mustadrak Al-Hakim

5.      Syarat-syarat Hadits Shahih

1)  Sanadnya Bersambung
       Setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung dalam periwayatannya.
       Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya.Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya Adil
       Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.
3) Perwainya Dhabith
       Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya.
       Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
       Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
5) Tidak Ber’illat
       Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih.Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih.Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.‘Illat hadits dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama.Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري)

" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
    a) Abdullah bin yusuf      = tsiqat muttaqin.
    b) Malik bin Annas         = imam hafidz
    c) Ibnu Syihab Aj-Juhri   = Ahli fiqih dan Hafidz
    d) Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e) Jubair bin muth'imi           = Shahabat.
3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.
Contoh Hadits Shahih
Contohnya yaitu

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَوَاتِيمُسُورَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّاأُعْطِيتَهُ

Dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ayat-ayat penutup surah Al Baqarah, tidaklah kamu membaca satu huruf dari kedua surah itu kecuali pasti akan diberikan kepadamu.” HR Muslim 1339.

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ كِتَابًا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِأَلْفَيْ عَامٍ أَنْزَلَ مِنْهُ آيَتَيْنِ خَتَمَ بِهِمَا سُورَةَ الْبَقَرَةِ وَلَا يُقْرَأَانِ فِي دَارٍ ثَلَاثَ لَيَالٍ فَيَقْرَبُهَا شَيْطَانٌ

Dari Nu’man bin Basyir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menulis kitab (Al Qur`an) sejak dua ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi, Allah menurunkan dua ayat darinya sebagai penutup surah Al Baqarah, tidaklah keduanya dibaca dalam rumah selama tiga malam setan akan mendekatinya.” HR Tarmidzi 2807, shahih
.
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآيَتَانِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ مَنْ قَرَأَهُمَا فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ

Dari Abu Mas’ud Al Badri radliallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Dua ayat terakhir dari surah Al Baqarah, barangsiapa membacanya pada malam hari, maka ia akan dicukupi.” HR Bukhari 3707.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُعْطِيتُ خَوَاتِيمَ سُورَةِ الْبَقَرَةِ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ وَلَمْ يُعْطَهُنَّ نَبِيٌّ قَبْلِي
Dari Abu Dzarr berkata, “Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Aku diberi penutup Surah Al Baqarah dari simpanan bawah ‘Arasy yang tidak diberikan pada seorang Nabi sebelumku.” HR Ahmad 20583, shahih.

عَمَّنْ سَمِعَ عَلِيًّا يَقُولُ مَا كُنْتُ أَرَى أَنَّ أَحَدًا يَعْقِلُ يَنَامُ حَتَّى يَقْرَأَ هَؤُلَاءِ الْآيَاتِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَإِنَّهُنَّ لَمِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ

Dari orang yang mendengar Ali berkata; Aku tidak melihat seorang berakal tidur hingga ia membaca ayat-ayat terakhir surah Al Baqarah. Sesungguhnya ayat-ayat tersebut termasuk perbendaharaan (rahmat Allah) di bawah ‘Arasy. HR Darimi 3250.

D.      HADITS DHA’IF
1.       Pengertian Hadits Dha’if
Hadits Dha’if berasal dari bahasa arab ( ضعيف) yang berarti lemah. Kelemahan hadis dha’if ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagai hadi hujjah. Para ulama memberikan pendapat yang berbeda ,meskipun maksud dan kandungannya sama, An-Nawawi dan Al-Qasimi mendefinisikan hadits dha’if ini dengan:
"مالم يوجد فيه شروط الصّحّة ولا شروط الحسن"

“Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan”
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib . Ushul Al-Hadist. hlm 333 dan Jalaluddin ‘Abd Rahman As-      Syuyuthi. Tadrib  hlm 91
  Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut 
مَاأَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ “حَكِيْمِ الأَثْرَمِ”عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : ” مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ “
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang yang bermuka dua.

2. Kriteria - Kriteria Hadits Dha’if  
Dari definisi tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa hadits dha;if tidak memenuhi salah satu persyaratan hadis shahih dan hadis hasan.

3. Macam - Macam Hadits Dha’if
1. Hadits Dha’if  Karena Sanadnya Terputus
    a) Hadits Mu’allaq
    b) Hadits Munqathi’
    c) Hadits Mu’an’an dan Muannan
    d) Hadits Mu’dhal
    e) Hadits Mudallas
    f) Hadits Mursal
    g) Hadits Mauquf
2. Hadits Dha’if Karena Periwayatnya Tidak ‘Adil
    a)   Hadits Mawdhu’
    b)  Hadits Matruk
    c)  Hadits Munkar / Majhul.
3. Hadits  Dha’if Karena  Periwayatnya  Tidak Dhabith
a) Hadits Mudallas
   b) Hadits Mudraj
   c) Hadits Maqlub
   d) Hadits Mazid
   e) Hadits Mudhtharib
   f) Hadits Mushahhaf
   g) Hadtis Majhul (Munkar)
   h)  Hadits Syadz
4. Hadits Dha’if Karena Mengandung Syadz
5. Hadits Dha’if Karena Mengandung’Illat (Cacat)

4. Kehujjahan Hadits Dha’if
    Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani. Hadis dha’if bisa dijadikan hujjah apabila memenuhi 3 persyaratan:
1. Tidak terlalu dha’if
2. Termasuk dalam  fadha’ilul a’mal
3. Tidak diyakinkan secara qath’i  (pasti) akan kebenaran akan hadis Nabi,tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyat

5. Kitab - Kitab Hadits Dha’if
Diantara kitab-kitab yang tersusun secara khusus tentang hadis dha’if ialah
a) Al-Marasil karya Abu Dawud
 b)Al-‘Ilal karya Ad-Daruqutni
 Kitab-kitab yang banyak  mengemukakan para perawi dha’if  ialah:
 1) Adh-Dhuafa karya Ibn Hibban
2)  Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi


E.      HADITS HASAN
1.      Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar;
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya.Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ….. الحديث “
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…” (HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhail iljihadi)
2.      Klasifikasi Hadits Hasan
1)  Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.
2) Hadits Hasanli-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya. Jumhur ulama muhaddisin memeberikan definisi tentang haditst hasan li-Ghairihi sebagai berikut:
مالايخلوإسناده من مستور لم تتحقق أهليته وليس مغفلا. كثير الخطاء ولاظهر منه سبب مفسق, ويكون متن الحديث معروفا برويتة مثله أو نحوه من وجه آخر
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dha’if. Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang menolong, maka hadits tersebut akan tetap berkualitas dha’if.
3.      Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal.Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan.
Contoh hadits Hasan
Hadits Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:

أن رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال ‏ ‏لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة ‏
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda:”Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.”(HR. at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharah). 
F.      HADITS MASYHUR
1.      Pengertian Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan sanadnya, tapi tidak mencapai derajat mutawaatir.

2.      Pembagian Hadits Masyhur
Hadits masyhur terbagi beberapa jenis sesuai sisi pandangnya:

Yang pertama: Ditinjau dari segi diterima atau tidak, hadits masyhur terbagi tiga:

1.      Hadits Masyhur yang sahih.

2.      Hadits Masyhur yang hasan.

3.      Hadits Masyhur yang lemah.

Contoh hadits masyhur yang sahih:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا»
“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan mencabutnya secara langsung dari para hamba, akan tetapi mengangkatnya dengan mewafatkan para ulama. Sampai saat tidak tersisa lagi seorang ulama, maka orang-orang menjadikan pemimpin (panutan) dari orang bodoh lalu mereka bertanya kepadanya dan ia menjawabnya tanpa dasar ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan”.

Hadits ini diriwayatkan dari tiga sahabat:
a)      Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab sahihnya.

b)      Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam kitabnya Al-Mu’jam Al-Ausath no.6403.

c)      Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam kitab musnadnya dan Al-Khathiib dalam kitabnya Tarikh Bagdad 3/252.

Contoh hadits masyhur yang hasan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
“Tidak boleh merusak orang lain dan tidak boleh merusak diri sendiri”

Hadits ini diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit, Ibnu Abbas, Abu Sa’id Al-Khudriy, Abu Hurairah, Abu Lubabah, Tsa’labah bin Malik, Jabir bin Abdillah, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum sebagaimana disebutkan oleh Az-Zaila’iy dalam kitabnya “Nashbu-rrayah” 4/384 dan dihasankan oleh Imam As-Suyuthiy dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shagiir no.9899.

Contoh hadits masyhur yang lemah:

Hadits:
(اللِّوَاءُ يَحْمِلُهُ عَلِيٌ يَوْمَ القِيَامَةِ)
“Panji umat Islam dipegang oleh Ali bin Abi Thalib pada hari kiamat”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Al-Jauziy dalam kitabnya Al-Maudhu’aat (kumpulan hadits-hadits palsu) dari Anas bin Malik, Jabir bin Samurah, dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhum.

Yang kedua: Ditinjau dari segi posisinya, hadits masyhur terbagi dua:

1)      Masyhur muthlaq; apabila diriwayatkan dari tiga orang sahabat atau lebih seperti pada contoh hadits masyur yang sahih, hasan dan lemah.

2)      Masyhur nisbiy; apabila diriwayatkan oleh banyak orang pada salah satu tingkatan sanadnya. Contoh:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
“Sesungguhnya setiap amalan itu didasari oleh niat, dan setiap orang mendapatkan sesuai dengan niatnya.Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya bernilai hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena niat mendapatkan dunia atau mengawini seorang wanita maka hijrahnya bernilai sesuai yang ia niatkan”. [Sahih Bukhari dan Muslim]

Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkecuali Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan tidak ada yang meriwayatkannya dari Umar kecuali ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsiy, dan tidak ada yang meriwayatkannya dari ‘Alqamah kecuali Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy, dan tidak ada yang meriwayatkannya dari Muhammad kecuali Yahya bin Sa’id Al-Anshariy. 
Kemudian hadits ini diriwayatkan oleh banyak orang (masyhur) dari Yahya, seperti: Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauriy, Hammad bin Zayd, Abdul Wahhab bin Abdul Majid Ats-Tsaqafiy, Abu Khaid Al-Ahmar, Yazin bin Harun, Abdullah bin Mubarak, dan selainnya. 

Yang ketiga: Ditinjau dari segi istilah, hadits masyhur terbagi dua:

1-      Masyhur isthilahiy (sesuai definisi); yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan sanadnya, tapi tidak mencapai derajat mutawaatir. Seperti pada contoh-contoh sebelumnya.

2-      Masyhur gairu isthilahiy(tidak sesuai definisi); yaitu hadits masyhur (terkenal) karena banyak disebutkan oleh orang sekalipun sanadnya hanya satu atau dua, atau bahkan tidak punya sanad sama sekali.

Hadits masyhur gairu isthilahiy ada beberapa jenis:

a.      Hadits yang masyhur (terkenal) khusus di kalangan ulama hadits, contoh:
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
«قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ» [صحيح البخاري ومسلم]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan meminta kebinasaan bagi kaum Ri’lin dan Dzakwan. [Sahih Bukhari dan Muslim]

b.      Hadits yang masyhur di kalangan ahli hadits, ulama secara umum, dan orang awam, contoh:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda:
«الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ»
“Seorang muslim (yang sempurna keislaman-nya) adalah orang yang umat Islam selamat dari kejahatan lidah dan tangannya”.

Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab sahihnya dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, dan Imam Muslim dalam kitab sahihnya dari Jabir bin Abdillah dan Abu Musa Al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhum.

c.       Hadits yang masyhur di kalangan ahli fiqhi (fuqahaa’), contoh:
Hadits:
«أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ»
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ta’aalaa adalah talak”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dalam kitabnya As-Sunan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Abu Hatim, Ad-Daruquthniy, dan Al-Baehaqiy menghukumi hadits ini lemah.

d.      Hadits yang masyhur di kalangan ulama ushul fiqh, contoh:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الخَطأُ والنِّسْيانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيهِ )
“Diangkat (dosa) dari umatku jika melakukan kesalahan, lupa, atau apa yang dipaksakan padanya”.

Hadits ini diriwayatkan dengan lafadz yang bervariasi dari Abdullah bin Abbas,  Abu Dzar, Abu Ad-Dardaa’, Ummu Ad-Dardaa’, Tsauban, Ibnu Umar, Uqbah bin ‘Amir, dan Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhum.
Disahihkan oleh Al-‘Uqailiy, Al-Hakim, Al-Baehaqiy, Adz-Dzahabiy, Al-Haetsamiy, An-Nawawiy, dan syekh Albaniy dalam kitabnya Al-Irwa’ no.82.

e.      Hadits yang masyhur di kalangan ulama nahwu (ahli tata bahasa arab), contoh:

Hadits:
نِعْمَ الْعَبْدُ صُهَيْبٌ، لَوْ لم يخف للَّه لَمْ يَعْصِهِ
“Sebaik-baik hamba Allah adalah Suhaib, kalaupun ia tidak tidak punya rasa takut kepada Allah maka ia tetap tidak akan mendurhakainya”.

Hadits ini sangat lemah, tidak punya sanad (laa ashla lahuu).Lihat silsilah hadits dha’if karya syekh Albaniy no.1006.

f.        Hadits yang masyhur di kalangan orang banyak, contoh:

Hadits Abu Mas’ud Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ» [صحيح مسلم]
“Barangsiapa yang menunjuki seseorang pada suatu kebaikan maka ia mendapatkan pahala seperti pahala yang melakukannya (atas petunjuknya)”. [Sahih Muslim]

g.      Hadits yang masyhur di kalangan ahli pendidikan (adab), contoh:

Hadits:
أدَّبَنِي رَبِّي فأَحْسَنَ تَأدِيبِي
“Tuhankulah yang mendidikku, maka Ia mendidikku dengan baik”.

Makna hadits ini sahih, tapi tidak ada diketahui sanadnya yang sahih.Lihat silsilah hadits dha’if karya syekh Albaniy no.72.
Contohnya adalah hadits,

إن الله لا يقبض العلم انتزاعًا ينتزعه من صدور العلماء ولكن يقبض العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يق عالمًا اتخذ الناس رؤوسًا جهالاً، فسئلوا فأفتوا بغير علمٍ فضلوا وأضلوا

“Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu ini sekaligus yang dicabutnya dari dada para ulama, akan tetapi Dia mencabutnya dengan mewafatkan para ulama. Hingga jika Dia tidak menyisakan seorang yang berilmu, manusia akan mengambil tokoh-tokoh yang bodoh. Mereka pun ditanya dan mereka berfatwa tanpa ilmu. Mereka pun sesat dan menyesatkan.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhary, Muslim, ath-Thabrani, Ahmad dan al-Khatib al-Baghdadi dari empat orang Shahabat yaitu Abdullah bin ‘Amr, Ziyad bin Labid, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Pada setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan periwayatan (thabaqah sanad), hadits ini diriwayatkan dari empat Shahabat sampai kepada para imam tersebut dan jumlah perawinya tidak pernah kurang dari tiga orang, sehingga hadits ini diistilahkan sebagai hadits Masyhur.




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits mutawatir ialah berita hadits yang bersifat indrawi (didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mencapai maksimal diseluruh tingkatan sanad dan akal yang menghukumi mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal berpijak untuk kebohongan.
Hadits ahad ialah: “Hadits yang diriwayatkan oleh satu  orang atau dua orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur atau mutawatir”
Hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
Hadits Dha’if berasal dari bahasa arab ( ضعيف) yang berarti lemah.
Hadits Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar;“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan sanadnya, tapi tidak mencapai derajat mutawaatir.







DAFTAR PUSTAKA


Sumber : http://bodohtapisemangat.blogspot.co.id/2015/03/makalah-alquran-hadis.html
http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html?m=1